Breaking News

Hukum Tanpa Eksekusi: Sebuah Renungan Kritis

Oleh : Mustari Mustafa
SULSEL.UPDATE24JAM.ID
Keadilan hilang bukan karena aturan tak ada, melainkan karena negara enggan menegakkannya. Hukum ada, vonis dijatuhkan, tetapi eksekusi seolah menunggu izin dari ruang-ruang gelap kepentingan. Di sinilah keadilan tergadai, bukan oleh absennya aturan, melainkan oleh keberanian yang tak pernah datang. 
Dalam perjalanan sejarah hukum, selalu ada titik krisis yang menguji sejauh mana sebuah negara benar-benar mampu menegakkan keadilan. “Kasus S.M.” misalnya, menjadi cermin buram dari kondisi itu. Mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin menyinggung bahwa kasus seperti ini memperlihatkan “praktik hukum dengan logika terbalik-balik dan lemahnya koordinasi ditubuh hukum kita”. Seseorang yang sudah menyandang status terpidana dengan putusan berkekuatan hukum tetap, ternyata tak kunjung dieksekusi. Apalagi lagi sampai diberitakan bahwa terpidana “tidak lagi ditemukan dimasukkan dalam daftar terpidana hilang”.
Fenomena ini menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana mungkin hukum yang seharusnya memiliki kepastian bisa berubah menjadi sekadar formalitas tanpa daya ? Ironinya, semua ini terjadi ketika Presiden Prabowo Subianto justru gencar melawan mavia dan mengusung agenda penegakan hukum. Maka, publik wajar mempertanyakan: bagaimana mungkin ketegasan negara justru tercoreng oleh kasus-kasus eksekusi yang mangkrak?

Lawrence M. Friedman, pakar hukum yang banyak dirujuk mengingatkan bahwa berfungsinya hukum sangat bergantung pada tiga pilar: substansi, struktur, dan kultur hukum. Substansi adalah isi aturan dan putusan; struktur adalah aparat dan lembaga yang memastikan aturan dijalankan; sementara kultur adalah cara masyarakat memandang hukum. Friedman menulis, “_Without effective institutions, laws are only words on paper; without the public’s belief, they are only empty rituals” (Law and Society: An Introduction, New Jersey: Prentice Hall,_ 1984, 6). Tanpa lembaga yang efektif, hukum hanya teks; tanpa kepercayaan publik, hukum hanyalah ritual kosong.

Jika kita tarik ke kasus-kasus eksekusi mangkrak, substansi hukum sebenarnya sudah jelas: ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Namun struktur hukum gagal melaksanakannya. Koordinasi antar-lembaga penegak hukum yang lemah, birokrasi yang berbelit, serta ketiadaan sistem pengawasan yang efektif menjadikan eksekusi terhambat. Akibatnya, kultur hukum masyarakat ikut rusak: rakyat melihat bahwa hukum bisa dinegosiasikan, ditunda, bahkan dihindari.

Apa yang akan terjadi jika kondisi ini dibiarkan? Pertama, publik akan kehilangan kepercayaan terhadap hukum. Padahal, kepercayaan adalah modal sosial (_social trust_) yang fundamental dari negara hukum. Sekali kepercayaan itu runtuh, tidak gampang untuk membangunnya kembali. Akibatnya kata Max Weber, legitimasi legal-rasional bernegara tergerus, dan negara kehilangan otoritas moral di mata rakyat. Kedua, hukum kehilangan daya gentar. Jika seorang terpidana bisa “hilang” begitu saja, maka hal itu menjadi preseden buruk. Pelaku tindak pidana lain bisa meniru, memanfaatkan kelemahan birokrasi. Ketiga, pemerintahan kehilangan wibawa. Di satu sisi pemerintah menyerukan penegakan hukum, di sisi lain negara justru gagal melaksanakan putusan yang final (inkrah). Kontradiksi ini membuat masyarakat semakin sinis terhadap agenda reformasi hukum. Bahayanya kata Antonio Gramsci, Negara yang berusaha mempertahankan hegemoni dengan simbol-simbol, penegakan hukum, dan narasi-narasi keberhasilan. Namun ketika rakyat melihat semua itu sebagai kejanggalan, maka muncul gerakan sosial sebagai counter hegemony—sebuah bentuk koreksi moral terhadap kuasa yang menyimpang.

Pelajaran pada kasus Slobodan Milosevic mantan Presiden Serbia, yang pada awalnya lolos dari eksekusi hukum di negaranya sendiri patut direnungkan. Pemerintah Serbia menunda penyerahannya ke Pengadilan Internasional atas kejahatan perang. Penundaan ini menimbulkan gelombang kritik internasional, menurunkan legitimasi pemerintah, dan membuat rakyat Serbia terbelah. Baru setelah tekanan dunia semakin kuat, Milosevic diekstradisi ke Den Haag. Namun, kerusakan citra hukum Serbia sudah terlanjur terjadi: negara itu dipandang lemah, tak serius menegakkan keadilan, dan kehilangan otoritas moral di mata rakyat maupun komunitas global.

Kasus eksekusi mangkrak seperti “S.M. dan lainnya” mengandung pesan serupa. Ia bukan sekadar perkara kriminal yang belum selesai, melainkan ujian bagi eksistensi negara hukum kita. Jika negara tidak mampu menuntaskan satu eksekusi yang jelas dasar hukumnya, maka yang hilang bukan hanya “terpidana” melainkan juga kepercayaan publik terhadap hukum Indonesia. Seperti diingatkan Friedman, hukum yang tidak ditegakkan hanyalah kata-kata di atas kertas dan bangsa yang membiarkannya akan kehilangan fondasi keadilan yang menopang kehidupannya.(*)
*Guru Besar UIN Alauddin, Presidium KAHMI Sulawesi Selatan dan Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI*
© Copyright 2022 - sulsel.update24jam.id