Breaking News

Penegakan Hukum Pidana Tanpa Rasa Keadilan

Oleh : Dr.H.Sulthani, S.H.,M.H.
Sebagai seorang advokat tentu terbiasa berurusan dengan aparat penegak hukum lain. Oleh karena advokat juga adalah unsur penegak hukum (Pasal 5 UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat).
Advokat mendampingi klien kadang dalam posisi terlapor, namun kadang pula mendampingi klien dalam kapasitas sebagai pelapor/pengadu.

Namun tidak jarang pula advokat merasakan proses penegakan hukum tanpa rasa keadilan, akibat oknum penegak hukum cenderung tidak menaati pedoman dan perilaku penegak hukum yang baik. Cenderung memihak kepada pelapor atau terlapor. 

Hal ini tentu saja dirasakan tidak adil, oleh karena penegak hukum tidak profesional, tidak jujur, tidak transparan, dan lebih ironi tidak berpedoman Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 
Oknum penegak hukum tertentu seenaknya memberlakukan peraturan lebih rendah daripada Undang-Undang. Padahal hirakhi perundang-undang sudah menegaskan bahwa peraturan lebih rendah tidak boleh bertentangan peraturan lebih tinggi (Lex superiori derogat legi inferiori).

Semisal kasus dugaan menggunakan akta otentik dengan keterangan palsu, kemudian laporan dibelikan atas dasar peraturan Kapolri Nomor 10 Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian perkara dan Laboratorium Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sementara dalam proses penyelidikan telah terungkap fakta-fakta hukum berdasar alat bukti surat, keterangan saksi, petunjuk, termasuk pemilik Sertifikat Hak Milik yang tidak pernah menjual, tidak pernah bertemu PPAT juga masih hidup. Dan membantah bahwa bukan tandatangannya yang tercantum pada Akta Jual Beli. Jadi sesungguhnya jelas sekali pembuktian perkara pidana yang demikian berdasarkan ketentuan Pasal 184 KUHAP. Alat bukti yang sah diantaranya keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Bila tafsir aparat penegak hukum mengenyampingkan KUHAP,  dan tunduk pada PerKapolri tersebut, maka PerKapolri diduga menjadi payung hukum bagi oknum mafia tanah merampas tanah orang lain, dengan cara melakukan pemalsuan dan atau menggunakan akta otentik dengan keterangan palsu.

Sehingga kejahatan pertanahan sesungguhnya boleh jadi bukan hanya karena adanya niat dan kemauan oknum  pelaku  delik pemalsuan dan atau menggunakan akta otentik dengan keterangan palsu, tetapi justru diduga oknum aparat penegak hukum tertentu yang patut diduga menjadi bagian dari kejahatan tersebut jika dibiarkan dirinya dugaan tersandera karena kepentingan subjektif.

Oleh karenanya idealnya proses hukum terhadap dugaan menggunakan keterangan palsu dalam akta otentik, seharusnya dilimpahkan kepada Kejaksaan untuk diproses lebih lanjut dan diperiksa oleh hakim yang memiliki kewenangan memutuskan, apakah terdakwa terbukti bersalah atau tidak untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.(*)
© Copyright 2022 - sulsel.update24jam.id